Pesan Banjir Sumatera: Berhentilah Jadi Spesiesis

1 week ago 23
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Banjir datang, dan Sumatera tenggelam. Ratusan nyawa manusia lenyap. Ribuan rumah hilang. Akses jalan terputus, jembatan roboh, sawah menjelma danau keruh. Anak-anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak, dan kita semua kehilangan rasa aman.

Sampai hari ini banyak orang masih bertanya-tanya: mengapa banjir kali ini begitu mematikan? Apa yang membuatnya berbeda dari banjir sepuluh tahun yang lalu? Dua puluh tahun yang lalu?

Foto udara sejumlah rumah diterjang banjir bandang di kawasan Gunung Nago, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO

Salah satu jawabnya ada pada spesiesisme: keyakinan bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, satu-satunya pemilik nilai intrinsik yang absolut, yang tak dimiliki binatang dan tumbuhan. Tentu saja, keyakinan itu bukan naluri alamiah, melainkan hasil konstruksi panjang filsafat Barat dan sains modern yang sangat mekanistis.

Dari René Descartes yang menganggap binatang sebagai automata tanpa jiwa, hingga Francis Bacon yang memandang alam sebagai bahan baku yang harus ditaklukkan, sesungguhnya kita telah lama dilatih dan dibentuk untuk melihat diri sebagai “tuan”. Yang lain—hutan, rawa, harimau, gajah, burung, serangga—cuma“sumber daya”.

Dalam Animal Liberation (1975), Peter Singer sudah lama teriak tentang bahaya spesiesisme. Tapi kita tutup telinga. Kita merasa nyaman hidup dengan sebuah kebohongan: bahwa manusia berdiri di puncak segala makhluk, bahwa nilai kita tak terbandingkan. Kita mengulang-ulang cerita itu sampai menjadi doa: manusia berakal, manusia berbahasa, manusia beradab. Dengan itu, kita merasa berhak mengambil apa saja dari yang lain. Kita bangun peradaban di atas keyakinan busuk itu: tebang hutan, keringkan rawa, kurung satwa, keruk bumi. Semua sah selama manusia untung.

Banjir Sumatera Bukan Bencana Alam

Kini, lihatlah Sumatera. Ketika hujan berubah menjadi malaikat maut, dengan enteng kita menyebutnya “bencana alam”. Istilah yang begitu halus, bersih, rapi, seperti bencana itu jatuh dari langit. Padahal ia menutupi fakta paling penting: bencana itu buatan manusia.

Selama bertahun-tahun, hutan primer Leuser, Batang Toru, Kerinci Seblat, hingga gugus Barisan ditebas demi kebun sawit, demi tambang emas, demi proyek-proyek yang diberi nama manis: “pembangunan”. Pohon-pohon raksasa yang memeluk tanah hilang. Akar-akar yang dulu menyimpan air digantikan tanah gundul yang rapuh. Daun-daun yang dulu meredam hujan kini diganti kanopi plastik greenhouse. Ketika hujan datang, air tak bisa lagi meresap. Ia mengalir deras di permukaan, membawa serta tanah longsor, batu-batu besar, dan akhirnya nyawa manusia.

Kita masih membela semua ini dengan mantra klasik: “Sawit itu ekonomi rakyat.” Tapi, beranikah kita melihat lebih dekat? Di balik setiap liter minyak goreng murah, ada hutan yang mati. Ada orangutan tanpa rumah. Ada gajah tertimbun lumpur. Ada anak-anak Dairi yang tidur di pengungsian. Kita telah menukar terlalu banyak nyawa: nyawa manusia, nyawa satwa, nyawa pohon, demi satu liter minyak goreng dengan harga diskon.

Bangkai Gajah Sumatera itu ditemukan tertimbun lumpur dan kayu pascabanjir akibat luapan Sungai Meureudu pada Selasa (25/11/2025). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Mengubah Cara Memandang Kehidupan

Spesiesisme sungguh membuat kita buta. Kita tak henti menangisi hilangnya nyawa manusia, tapi selama ini menutup mata terhadap jutaan pohon yang ditebang. Kita mengutuk banjir, tapi tetap saja memasukkan sabun, sampo, margarin, dan biskuit berbahan sawit ke dalam keranjang belanja. Kita menyalahkan curah hujan, padahal hutan yang masih utuh di Kalimantan dan Papua menunjukkan: banjir bukan takdir, banjir itu konsekuensi.

Betul, “kita harus makan”, “kita butuh pembangunan.” Tapi keliru jika pembangunan harus menukar masa depan anak cucu demi keuntungan segelintir orang. Ketika lereng ditebang, yang mati bukan pemilik modal. Bukan korporasi. Bukan para penanda tangan izin. Bukan kita yang menumpuk produk sawit di keranjang belanja tanpa rasa bersalah. Yang mati adalah mereka yang bahkan tak pernah diajak bicara ketika keputusan diteken atas nama pembangunan dan kemajuan.

Tentu, kita tak perlu menjadi aktivis garis keras yang menolak semua produk sawit. Kita juga tidak harus berhenti makan mie instan atau biskuit. Yang kita butuhkan jauh lebih sederhana: Read Entire Article