A. Awal Perjalanan Emosional Menjadi Fans Liverpool
Saya ingat sekali pada akhir tahun 2017 adalah masa-masa saya pertama kali jatuh cinta kepada Liverpool. Alasannya klise, tapi jujur: karena Mohamed Salah. (Baca juga artikel ini : https://kumparan.com/donny-kurniawan/dakwah-mohamed-salah) Sprint-nya yang sangat kencang layaknya seorang Lionel Messi, senyumnya hangat, setiap kali ia mencetak gol rasanya dunia pun menjadi lebih terang. Dan semua itu tidak akan berarti tanpa kehadiran dua sosok lainnya, yaitu Roberto Firmino dan Sadio Mané. Trio Salah, Firmino, Mané lah yang membuat saya semakin hanyut ke dalam dunia aneh bernama “fans Liverpool.”
Waktu itu, hidup saya pun sangat sederhana, saya dan teman-teman rela menunggu match day dengan jantung yang berdebar-debar, menonton matchnya bersama-sama di warung kopi Banda Aceh, memperdebatkan formasi starting lineup nya di Instagram, dan menghafal jadwal pertandingan. Akan tetapi, semakin lama saya berkecimpung di dunia sepak bola, saya pun masuk ke fase dimana saya acap kali 'baper' setiap tim kesayangan saya kalah. Pernah Liverpool waktu itu dibantai Real Madrid dengan skor akhir 3-1, besoknya saya langsung ribut sama teman hanya gara-gara dia nyeletuk, “Liverpool yang lagi-lagi puasa gelar 30 tahun itu ya? katanya jago? kok dibantai di final?” Rasanya seperti anda dicemooh oleh mantan disaat anda baru diputusin. Saya pun sangat marah waktu itu, padahal kalau dipikir-pikir lagi, Liverpool itu bukan “tim saya” juga. Saya nggak punya saham disitu, nggak nyumbang gaji pemain juga, tapi saya pun ikut merasakan sakit hati di situ.
Dulu setiap Liverpool kalah, mood saya pun menjadi jelek. Mau makan nggak selera, ngerjain tugas pun malas, terus overthinking soal match semalam: “Apa Klopp salah strategi ya?”, “Kenapa Firmino nggak dimainin dari awal?”, “VAR dendam banget ya sama kita? perasaan digembosi terus deh.” Padahal yang merasakan kekalahan tersebut adalah sebelas orang di Anfield sana, bukan saya yang nonton sambil nyeruput Indomie di kamar.
B. Menghadapi Kekalahan Liverpool dengan Sikap Lebih Dewasa
Tapi makin ke sini saya pun sadar: hal ini sangatlah wajar. Karena bagi beberapa orang, sepak bola itu bukan hanya soal hiburan, justru hal tersebut sudah menjadi bagian identitas mereka. Coba bayangkan, kita rela bergadang hingga tengah malam, menahan rasa kantuk kalau matchnya membosankan, kita juga sering mengikuti gosip transfer layaknya drama percintaan, bahkan mebeli jersey grade KW dari hasil menabung. Jadi wajar sekali disaat tim kalah, rasanya seperti ada bagian dari diri kita yang juga ikutan gagal, dan itu sangat manusiawi.
Apa yang membuat hal-hal tadi menjadi tidak wajar? yang tidak wajar itu kalau kita membiarkan hasil pertandingan mengatur hidup kita, mengatur mood kita, bahkan mengatur interaksi sosial kita dengan orang-orang. Saya pribadi pernah di titik di mana kekalahan membuat hari-hari saya menjadi rusak total. Tapi seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk 'let it flow' dan 'move on' saja. Semenjak itu saya mempunyai mindset "Kalau kalah ya kalah aja, gak usah banyak alasan, dan ketawain aja". Walaupun dalam hati terbesit rasa kesal dan sedih. Tetapi hidup kita kan tidak berhenti di situ. Sekarang, setiap kali Liverpool kalah, saya hanya bisa ngelus dada sambil bilang, “Yaudah, minggu depan main lagi.” Walau di lubuk hati saya masih nyeletuk, “Klopp, Slot, tolonglah,” dan terkadang sering menjadi sasaran ejekan teman-teman lainnya, tapi setidaknya, saya bisa melanjutkan hidup dengan normal dan tidak bersikap lebay lagi.
Pada dasarnya, cinta terhadap sebuah klub itu seperti sedang menjalani hubungan asmara. Awalnya kita merasakan euforia, tapi kalau anda tidak belajar untuk menerima kekurangannya, anda juga akan kelelahan sendiri. Dulu saya adalah fans yang posesif, setiap kali kalah langsung badmood. Dan sekarang saya pun lebih realistis kalau kalah itu justru bagian dari perjalanan, bukan akhir dari cinta.
Menjadi penggemar itu soal komitmen dan rasa memiliki yang absurd. Di satu sisi kita ikut merasa senang waktu klub kita lagi menang, tapi juga harus siap patah hati saat klub kita lagi kalah. Dan justru di situ magisnya sepak bola, anda tetap menunggu klub kesayangan anda main di setiap minggunya, meski nanti ujung-ujungnya dikecewakan karena mainnya jelek, atau bahkan dikalahkan oleh tim rival. Dan kita tidak bisa bilang kalo itu hal yang bodoh, tetapi itulah yang dinamakan cinta.
Saya masih jatuh hati setiap melihat senyum Mo Salah, walaupun musim ini dia sudah nggak se-eksplosif dulu. Saya juga masih kagum sama Firmino dan Mané walaupun mereka sudah pergi main di klub lain. Cuma bedanya, sekarang saya sudah tahu batas dan mengerti apa esensi dari ‘mencintai’ itu sendiri. Saya tidak mau lagi membiarkan hasil pertandingan yang menentukan bahagia atau tidaknya hidup saya. Karena sejatinya sepak bola itu hanyalah hiburan, bukan pusat gravitasi emosi kita.
Jadi kalau besok Liverpool atau tim kesayangan anda kalah lagi (amit-amit sih), kita mungkin masih bakal sedih, tetapi kita semua tahu itu cuma 90 menit yang buruk, bukan hidup kita yang gagal. Karena pada akhirnya, yang membuat sepak bola itu menjadi indah bukan hanya karena kemenangan yang kita peroleh, tapi juga kesetiaan untuk terus mencintai, meski sering dikecewakan.

1 week ago
5





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381343/original/033703500_1760501307-Cara-Arsitektur-AI-Native-ERP-ScaleOcean-Pastikan-Analisis-Data-Bisnis-Akurat.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351729/original/047342300_1758083270-image_2025-09-17_112741125.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378666/original/019339600_1760272336-WhatsApp_Image_2025-10-12_at_09.27.07.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5106905/original/096442900_1737628697-Samsung-Mobile-Galaxy-S25-series-Galaxy-Unpacked-2025-Photos-of-Experience-Zone_main13.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378200/original/050004300_1760220805-irak_-_indo.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378723/original/058292000_1760316350-Genshin_Impact_update_6_1_01.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5314514/original/078809300_1755088863-WhatsApp_Image_2025-08-13_at_19.27.39.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5274166/original/097226500_1751707812-Frank_van_Kempen_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5328603/original/087840900_1756261928-szabo-viktor-UfseYCHvIH0-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5379498/original/096397500_1760347998-Vivo_X300_01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355001/original/075220800_1758270927-boliviainteligente-tnVDpxUW6og-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5371464/original/094878100_1759658403-lamine.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385173/original/011957900_1760881265-shinta_bachir.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4408314/original/073824900_1682603067-Open_AI_-_Getty_Images.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383570/original/096572500_1760683681-tomonobu_itagaki.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381153/original/090349100_1760491120-Nunung.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5379861/original/021840100_1760403754-image_2025-10-14_074049804.jpg)