MI/Seno(Dok. Pribadi)
SERUAN penetapan banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menjadi bencana nasional masih terus digelorakan. Dorongan tersebut bersumber dari akademisi, pakar, penyintas terdampak bencana, dan pegiat aktivis kemanusiaan lainnya, secara baik personal maupun kelembagaan dengan memperhatikan jumlah korban dan dampak kerugian yang terus bertambah.
Berkaitan dengan hal itu, BNPB memberikan keterangan bahwa penetapan status tersebut hanya dilakukan jika dampak bencana telah melampaui kapasitas pemerintah daerah dan membutuhkan komando penuh dari pusat. Jadi, pemerintah pusat menilai penanganan masih dapat dilakukan melalui koordinasi nasional tanpa perubahan status meski praktiknya, sebagian penanganan mengandalkan solidaritas sosial.
Penggunaan dan penundaan ‘status bencana’ memiliki implikasi yang kompleks. Selain psikologi publik yang dikhawatirkan influencer kelompok pro koalisi tentunya; ada kebijakan fiskal dan moneter secara sistemis. Terutama terkait dengan mekanisme pembukaan bantuan internasional dan kemudahan mobilisasi sumber daya global, yang menjadi perhatian publik dan sejumlah pihak yang mendesak penetapan status bencara segera agar koordinasi dan dukungan nasional-internasional dapat berlangsung lebih efektif, khususnya untuk pemulihan yang berangsur cepat.
PRA DAN PASCABENCANA
Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar sejak akhir November semakin hari menunjukkan kerugian dan dampak yang bertambah signifikan, sistemis, dan kompleks. Dari kerugian infrastruktur, ribuan rumah, fasilitas publik, komunikasi terputus, hingga korban jiwa. Belum lagi pra dan pascabencana yang juga membutuhkan penanganan terintegrasi.
Sebelum terjadi bencana, ada serangkaian prosedural edukasi bencana yang juga harus ditempuh, tujuannya meminimalkan dampak dan kerugian bencana. Khususnya pada tingkatan elektoral, minimal pemerintah desa secara berkala memberikan edukasi simulasi bencana kepada masyarakat berbasis evidence base. Dari kasus akses jalan terputus, komunikasi seluler padam, distribusi bantuan terhambat, hingga memilih tempat mengungsi.
Pascabencana, terdapat simulasi adaptasi dan rehabilitasi yang berkelanjutan, seperti pemulihan psikologis dan obat-obatan siaga akibat debu bertebaran pascalumpur dengan minim air bersih. Dengan demikian, kondisi tersebut menggambarkan bahwa ada faktor komunikasi kebijakan dan koordinasi yang memainkan peran besar dalam menentukan seberapa besar dampak akhir bencana.
Bencana kali ini, saat penulis mengonfirmasi beberapa keluarga di Aceh, bendungan telah dibuka secara tiba tiba oleh petugas tanpa mengomunikasikan kepada masyarakat. Alhasil keluarga penulis yang masuk kategori manula atau kelompok rentan juga terdampak.
KOMUNIKASI ELEKTORAL
Terlepas dari kategori bencana alam dan bencana akibat eksploitasi yang sistemis, setiap bencana pasti menimbulkan kerugian jiwa dan materi. Namun, di tengah kompleksitas penyebab alam, keputusan, dan infrastruktur tersebut, ada satu aspek yang sering kali luput dibahas secara serius, yaitu komunikasi kebijakan para elektoral. Bagaimana kebijakan diambil, bagaimana keputusan itu disampaikan kepada publik memengaruhi besar-kecilnya dampak bencana.
Kasus bencana di wilayah Aceh, Sumut, dan Sumbar kali ini memperlihatkan bahwa terdapat kegagalan koordinasi dan komunikasi. Termasuk soal operasi bendungan atau bendung sungai bisa memperburuk kerugian sosial dan material. Masyarakat menjadi low preparation akan bahan pokok makanan.
Yang kita lihat di berbagai media massa, momentum bencana itu, bagi sebagian kelompok kepentingan, dimasifkan untuk mengonter narasi agar informasi publik sesuai dengan kebijakan kelompok mereka sehingga mengesampingkan sisi kemanusiaan dan cenderung berbasis prosedural.
PRINSIP KOMUNIKASI KEBIJAKAN BENCANA
Dalam studi manajemen risiko dan sosial-kebencanaan, komunikasi kebijakan (policy communication) menjadi bagian integral dari strategi mitigasi dan adaptasi. Menurut teori risk communication, informasi harus disampaikan secara cepat, jelas, dan transparan agar masyarakat dapat merespons secara tepat.
Selain itu, policy-making process menekankan bahwa pengambilan kebijakan harus melibatkan stakeholder, juga komunitas lokal yang terdampak. Tujuannya kebijakan relevan dan bisa dijalankan dengan dukungan publik.
Dalam konteks tata kelola bencana, literatur seperti national action plan for disaster risk reduction (NAP-DRR) menekankan bahwa tanggung jawab tidak hanya pada pemerintah, tetapi pada kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan organisasi masyarakat sipil. Sistem informasi kebencanaan oleh BNPB harus transparan, responsif, dan berjenjang agar keputusan seperti membuka bendungan, evakuasi, dan mitigasi dapat dikomunikasikan secara efektif.
Itu disebabkan tantangan muncul ketika kebijakan dibuat secara top-down tanpa melibatkan komunitas lokal atau tanpa disertai komunikasi yang memadai. Ketika keputusan operasional bendungan dibuka, misalnya untuk meredam volume air, tetapi masyarakat di hilir tidak diberi tahu, risiko banjir mendadak meningkat. Kondisi itu bertentangan dengan prinsip informed consent dan stakeholder participation dalam teori manajemen risiko sosial.
Efektivitas kebijakan bencana tidak cukup diukur dari rancangan teknis semata, tapi juga dari bagaimana kebijakan tersebut dikomunikasikan dan diterima di masyarakat.
PROBLEM KOMUNIKASI DAN KOORDINASI
Kasus bencana kali ini menunjukkan beberapa pola kegagapan atau bisa disebut juga sebagai kegagalan. Pertama, kurang transparansinya akan keputusan operasional, contohnya untuk kasus pembukaan bendungan tersebut. Kedua, belum siapnya jaringan komunikasi darurat. Ketika curah hujan ekstrem bersamaan dengan longsor, banyak menara komunikasi padam; menyebabkan pusat komando dan masyarakat lokal sulit berkoordinasi.
Ketiga, koordinasi antarlembaga lemah. Dari pemerintah daerah, badan penanggulangan bencana, institusi teknis bendungan, dan masyarakat lokal sering tidak sinkron.
Edukasi literatur manajemen bencana menekankan bahwa kelemahan komunikasi dan koordinasi menyebabkan peningkatan kerentanan masyarakat, memperhalangi evakuasi, distribusi bantuan, dan pemulihan pascabencana. Itu disebabkan pada banyak kasus, keputusan teknis dibuat tanpa audit sosial (social impact audit), tanpa kajian partisipatif terhadap potensi dampak. Dalam komunikasi kebijakan, kondisi itu disebut sebagai policy opacity, situasi ketika informasi kebijakan tidak mengalir dengan baik kepada publik sehingga memicu misinformasi dan memperbesar risiko.
Akibatnya, selain korban jiwa dan material, terjadi public distrust. Masyarakat merasa kebijakan tidak adil, pemerintah dinilai tidak responsif, kesiapsiagaan lokal lemah, dan menghadirkan asumsi bahwa pemerintah hanya mengandalkan solidaritas sosial. Krisis itu bisa memperparah dampak jangka panjang, termasuk trauma sosial, kemiskinan, dan kesulitan rekonstruksi.
REKOMENDASI KOMUNIKASI KEBIJAKAN BENCANA YANG INKLUSIF
Dari permasalahan tersebut, ada beberapa rekomendasi untuk memperbaiki sistem komunikasi kebijakan bencana di Indonesia. Pertama, membangun sistem komunikasi kebijakan yang proaktif dan berbasis data. Istilah lainnya policy communication protocol. Artinya setiap keputusan teknis harus disampaikan melalui multikanal: sirene desa, SMS blast, radio komunitas, hingga platform digital BPBD.
Sistem itu harus berbasis data risiko real-time dan disertai ex-ante communication (komunikasi sebelum tindakan), bukan hanya setelah keputusan diambil. Strategi itu menekankan perlunya sinyal dini yang jelas dan dapat diverifikasi publik.
Kedua, memperkuat infrastruktur komunikasi darurat berlapis. Jadi, tidak hanya memfokuskan pada 'jaringan cadangan', tetapi juga membangun arsitektur komunikasi darurat berlapis (redundancy architecture) yang menghubungkan satelit, radio komunitas, repeater portable, dan pemancar bergerak. Sistem harus dapat berfungsi meskipun listrik dan jaringan seluler padam. Kalau dalam Resilient Communication Systems (Reddick, 2025) menekankan pentingnya multi-node communication untuk mencegah isolasi informasi.
Ketiga, memiliki mekanisme koordinasi kebijakan yang terintegrasi. Rekomendasi itu tidak sekadar memperbaiki komunikasi, tetapi juga membangun unified disaster policy hub yang mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah pusat, daerah, BPBD, operator bendungan, relawan, dan komunitas lokal. Hub itu menghasilkan alur keputusan yang baku (standardized dec...

8 hours ago
3























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383570/original/096572500_1760683681-tomonobu_itagaki.jpeg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385173/original/011957900_1760881265-shinta_bachir.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4605535/original/052956900_1696928865-g_1_0_10_potret_ammar_zoni_sudah_bebas_dari_penjara_ucap_rasa_syukur_bisa_kembali_bertemu_keluarga_ammar_zoni-20231009-028-busan.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5389933/original/002484900_1761214453-Hexabyte.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5384578/original/024426200_1760796172-AWS_-_Foto_3.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385236/original/040525100_1760891904-WhatsApp_Image_2025-10-19_at_23.25.05.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5384958/original/073435900_1760859103-Menkes_Budi_Gunadi_Sadikin.jpg)