(MI/Duta)
TIDAK hanya manusia, alam pun bisa murka. Kini luapan amarahnya membanjiri tiga provinsi di Indonesia tercinta. 'Anehnya', air bah yang dibawanya juga menyeret barisan gelondong, atau kayu batangan. Tak terhindarkan, arus deras dan longsoran lumpur mengubur hidup-hidup peradaban manusia yang tidak berdosa. Mereka menjadi korban sia-sia akibat ulah tangan-tangan serakah pembalak liar. Atas nama kepentingan ekonomi, hutan-hutan dibabat habis.
Pohon-pohon yang telah menopang kehidupan dan peradaban makhluk bumi selama puluhan, bahkan ratusan tahun, telah lenyap. Pembalak liar yang miskin empati menggantikannya dengan pohon-pohon sawit. Sama-sama pohon, bukan? Konon menurut pemikiran sesat, 'hutan sawit' mampu menggantikan fungsi hutan tropis. Apakah karena status sebagai produsen sawit terbesar di dunia, melegalkan memperluas lahan demi mendatangkan devisa? Karena alasan hilirisasi, ekspansi tambang dengan membabat hutan pun seolah mendapatkan legitimasi.
Penulis jadi teringat saat duduk di bangku SD, sekitar 1970-an. Guru berujar, hutan merupakan cadangan penting air kehidupan dan paru-paru bumi. Akar dan humus yang ditabungnya atas kehendak keseimbangan alam mampu menyerap air hujan dengan sempurna. Mata air yang dihasilkannya berperan penting menopang kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Tidak hanya bagi manusia, homeostasis ekosistem yang terpelihara sangat menopang keanekaragaman hayati.
Entah mengapa konsep dasar pengetahuan biologi sejak SD itu kini telah 'dilupakan'. Kabarnya deforestasi dilakukan orang-orang cerdik pandai yang telah melewati pendidikan tingkat sarjana. Tingginya pendidikan ternyata tidak selalu diiringi dengan meningkatnya pemahaman dan rasa cinta terhadap alam semesta.
Sedikitnya 50 kota/kabupaten di tiga provinsi telah menjadi korban salah urus hutan. Lebih dari 800 nyawa telah melayang sia-sia. Sangat mungkin laju korban jiwa masih akan terus bertambah. Pasalnya ratusan penduduk lainnya masih dinyatakan hilang. Belum lagi ratusan ribu orang lainnya yang terpaksa menyandang predikat sebagai pengungsi. 'Tsunami' kedua itu benar-benar telah memorak-porandakan sarana dan prasarana kehidupan sosial masyarakat. Ini suatu realitas yang menyedihkan, bukan hanya kehebohan di media sosial.
BENCANA HIDROMETEOROLOGI DAN KESEHATAN
Pendapat Hippocrates (460 SM-370 SM) yang dijuluki sebagai 'Bapak Kedokteran' patut diresapi. Sekitar 2.000 tahun yang lalu, beliau bahkan sudah bisa memprediksi timbulnya dampak penyakit akibat perubahan musim. Risalahnya dikenal dengan filosofi Airs, Waters, Places. Konsep 'kunonya' menggambarkan, bagaimana peran perubahan musim berpengaruh pada tingkat kesehatan masyarakat. Hal itu menyangkut paparan sinar matahari, tanah, daerah dengan ketinggian tertentu, aspek geografi, dan iklim.
Pendapatnya yang sulit dinalar masyarakat pada umumnya bisa dikategorikan out of the box pada masa itu. Namun, ternyata dasar pemikirannya menjadi perhatian penting para ilmuwan pada akhir abad ke-20. Banyak riset yang akhirnya mengaitkan pengaruh lingkungan hidup, perubahan iklim, dan cuaca pada saat tertentu sebagai pemicu timbulnya gangguan kesehatan.
Bencana hidrometeorologi akibat ulah manusia berdampak besar bagi status kesehatan masyarakat. Tidak hanya korban nyawa akut, sistem kesehatan yang telah tertata puluhan tahun lenyap dalam sekejap. Entah berapa puskesmas, puskesmas pembantu, atau klinik-klinik kesehatan, bahkan rumah sakit, yang lumpuh. Padahal keberadaan mereka kini sangat dibutuhkan masyarakat. Para tenaga kesehatan yang tersisa pun tidak akan mampu bekerja optimal.
Selain sebagai korban, sarana penting penunjang medis lainnya ikut tersapu bersih oleh bencana. Problem kesehatan besar tidak hanya terjadi pada fase tanggap darurat bencana, tetapi diprediksi berdampak dalam jangka panjang. Hilangnya harta benda dan mata pencaharian memantik problem finansial dan keraguan akan masa depan. Insiden malanutrisi dan gangguan gizi diprediksi akan meningkat. Demikian pula aspek kesehatan mental, khususnya gangguan stres pascatrauma, berisiko menghantui para korban.
Banjir bandang dan tanah longsor kali ini mirip bencana besar tsunami 2004 yang melanda Provinsi Aceh. Memori perjuangan para relawan seakan bangkit lagi. Korban tenggelam terbawa oleh arus deras ialah problem penderitaan utama yang kasatmata dan tidak terelakkan. Kesengsaraan lainnya menyangkut luka-luka atau korban jiwa akibat timbunan material lumpur. Umumnya korban yang masih bisa diselamatkan mengalami patah tulang, luka robek, atau infeksi saluran cerna/napas.
Persoalan krusial yang harus dihadapi menyangkut keterbatasan fungsional peralatan medis. Kondisi itu diperparah dengan sarana penunjang kamar operasi yang tidak mungkin bisa digunakan. Semuanya mesti memerlukan dukungan sumber air bersih yang tidak tersedia saat fase darurat. Terhentinya pasokan aliran listrik dan bahan bakar genset menyebabkan lumpuhnya aktivitas pertolongan darurat. Balita, perempuan hamil dan menyusui, serta manula ialah kelompok rentan yang paling terdampak.
Kerusakan infrastruktur yang kini terjadi di beberapa kabupaten/kota menyulitkan bantuan tim medis tanggap darurat. Terbukanya kembali kepungan akibat material longsor merupakan skala prioritas tindakan darurat yang harus segera dilakukan. Selain suplai makanan dan kebutuhan hidup sehari-hari, diharapkan, bantuan obat-obatan dan penunjang medis lainnya dapat segera mengalir kembali. Pasalnya, tidak semua daerah dapat dijangkau bantuan dengan mudah melalui udara.
Mengacu pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), problem utama kesehatan daerah terdampak ialah minimnya persediaan air bersih. Tidak saja untuk air minum, tapi sangat penting pula bagi mata rantai higiene sanitasi. Bisa dibayangkan, kebutuhan yang semula tersedia dengan mudah kini menjadi barang langka.
Dampak masalah tersebut berisiko memicu lingkaran setan terkait dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air. Misalnya muntaber, tifus, hepatitis A, dan kolera. Dehidrasi akibat minimnya persediaan air minum berisiko memantik penyulit kegagalan organ penting. Misalnya timbulnya gagal ginjal akut.
Semakin lama terjadinya banjir, semakin berpotensi memicu genangan air yang semakin meluas. Kondisi lingkungan yang sangat tidak menguntungkan merupakan ekosistem ideal bagi pertumbuhan nyamuk. Risiko meningkatnya demam berdarah dan malaria pun patut diperhitungkan. Berbagai macam barang bekas/peralatan rumah tangga yang berserakan (misalnya ban bekas, ember, tutup plastik, atau mainan anak) bisa menampung air hujan.
Walaupun mungkin volumenya minim, sudah merupakan media yang baik bagi nyamuk Aedes untuk bertelur. Banyak tempat lainnya yang bisa dijadikan habitat alami nyamuk pembawa virus demam berdarah berkembang biak. Misalnya di celah-celah tanaman, lubang pohon, atau tumpukan daun yang membusuk. Nyamuk Aedes sangat menyukai tempat yang relatif gelap, teduh, dan bersuhu hangat. Ekosistem yang ideal bisa mempercepat siklus hidup mereka. Kemampuan mereka menggigit manusia pun dapat meningkat hingga beberapa kali lipat. Nyamuk betina memerlukan darah manusia untuk proses pematangan telur mereka.
Ekosistem nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria sedikit berbeda dengan nyamuk Aedes. Anopheles sangat menggemari rawa-rawa, sungai, sawah, lembah, lengkap dengan kelebatan alang-alangnya.
Dekatnya lokasi pengungsian penduduk dengan ekosistem yang sesuai bagi nyamuk sangat menentukan tingkat transmisi penyakit malaria atau demam berdarah.
Peningkatan penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia) diprediksi akan meningkat pula. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak dengan air yang tergenang, tanah, lumpur yang terkontaminasi dengan air kencing hewan pembawa bakteri Leptospira. Mikroba tersebut dapat menginfeksi melalui luka, bahkan erosi kecil pada kulit ataupun selaput lendir (mulut, hidung, mata, anus).
Tikus merupakan sumber utama penularan. Namun, ada hewan lainnya yang juga dapat bertindak sebagai penjangkit. Misalnya tupai, kambing, sapi, kucing, anjing, kuda, burung, landak, dan kelelawar. Bakteri Leptospira dapat bertahan lama dalam ginjal hewan tersebut tanpa menimbulkan penyakit. Dampaknya, bakteri tersebut terkonsentrasi dalam jumlah besar dan dikeluarkan melalui air kencingnya. Manusia merupakan host yang terakhir sehingga penularan antarmanusia hampir tidak mungkin terjadi.
Meski relatif lebih jarang, virus hanta memiliki pola penularan yang serupa dengan Leptospira. Gejala dominannya mirip demam berdarah, tetapi sering disertai gagal ginjal akut dan gagal napas.
Minimnya lahan yang aman memantik tingkat kepadatan pengungsi pada suatu titik tertentu. Situasi yang serbatidak menguntungkan itu sangat memudahkan transmisi virus-virus saluran napas. Bersamaan dengan datangnya anomali cuaca, kini insiden infeksi saluran napas sedang melonjak di Indonesia. Penyebabnya ialah influenza A (H1N1Pdm09) dan influenza B (victoria). Hingga minggu ke-45 2025, data masih menunjukkan grafik fluktuasi. Namun, influenza subtipe H3N2 sedang merebak di banyak negara, termasuk beberapa negara Asia dan negara tetangga.
Virus influenza H3N2 subclade K dilaporkan lebih cep...

6 hours ago
6





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381343/original/033703500_1760501307-Cara-Arsitektur-AI-Native-ERP-ScaleOcean-Pastikan-Analisis-Data-Bisnis-Akurat.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351729/original/047342300_1758083270-image_2025-09-17_112741125.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5106905/original/096442900_1737628697-Samsung-Mobile-Galaxy-S25-series-Galaxy-Unpacked-2025-Photos-of-Experience-Zone_main13.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378666/original/019339600_1760272336-WhatsApp_Image_2025-10-12_at_09.27.07.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378200/original/050004300_1760220805-irak_-_indo.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5314514/original/078809300_1755088863-WhatsApp_Image_2025-08-13_at_19.27.39.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378723/original/058292000_1760316350-Genshin_Impact_update_6_1_01.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5274166/original/097226500_1751707812-Frank_van_Kempen_2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5328603/original/087840900_1756261928-szabo-viktor-UfseYCHvIH0-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5379498/original/096397500_1760347998-Vivo_X300_01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355001/original/075220800_1758270927-boliviainteligente-tnVDpxUW6og-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5371464/original/094878100_1759658403-lamine.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5381153/original/090349100_1760491120-Nunung.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383570/original/096572500_1760683681-tomonobu_itagaki.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385173/original/011957900_1760881265-shinta_bachir.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5379861/original/021840100_1760403754-image_2025-10-14_074049804.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4408314/original/073824900_1682603067-Open_AI_-_Getty_Images.jpg)
